Minggu, 19 Mei 2013

Kibarkan Batik Papua hingga Mancanegara

Fransisca Dian Wismandari
Kibarkan Batik Papua hingga Mancanegara

Ketekunan dan semangat yang dilandasi rasa cinta pada warisan budaya serta kedekatan emosional dengan Papua membuat Fransisca Dian Wismandari mengembangkan batik di kawasan itu hingga ke mancanegara.

Batik Papua kini telah melengkapi khazanah batik Indonesia. Gelaran batik Nusantara, semakin lengkap dengan hadirnya batik dari provinsi ujung timur Indonesia ini. Meski dari sisi sejarah Papua tidak mengenal budaya dan teknologi membatik layaknya masyarakat di Pulau Jawa, namun kini sentra-sentra batik di Papua mulai tumbuh seiring berkembangnya batik Papua. Beberapa daerah, menurut Dian, demikian perempuan berusia 45 tahun ini kerap disapa, seperti di Timika kini mulai memiliki pusat pelatihan batik. Perajin batik juga mulai memproduksi batik dengan beragam motif.




"Setidaknya Papua kini memiliki identitas kerajinan baru selain totem," kata Dian mengawali pembicaraan, beberapa waktu lalu. Totem merupakan patung kayu khas Papua. Hampir setiap suku yang ada di daerah ini memiliki seni kerajinan totem dengan karakter masing-masing.

Pamor batik Papua yang diperkenalkan Dian juga tidak kalah dengan batik-batik dari Pulau Jawa. Batik Papua bahkan telah menembus pasar mancanegara, seperti Kanada, Australia, dan juga Afrika. Sejumlah korporasi besar seperti JP Morgan, Robobank, juga menjadi salah satu buyer batik Papua kreasi Dian. Perusahaan multinasional yang berbasis di Papua umumnya juga menjadi konsumer batik Papua karya Dian, termasuk sejumlah hotel.

Batik Papua sejatinya merupakan hasil tuangan kreativitas Dian. Sebagai perempuan asli Solo dia berupaya memadukan pakem batik Jawa yang ia pelajari dari keluarganya dengan inspirasi motif yang diambil dari falsafah hidup, seni budaya, serta flora dan fauna yang begitu kaya di bumi Cendrawasih. Dian mengaku tetap berpegang pada pakem-pakem yang diyakini oleh masyarakat adat Papua dalam mengkreasikan motif-motif batiknya.

"Saya merasa punya kedekatan emosional dengan Papua. Selama 17 tahun saya makan dari bumi Papua," kata Dian tentang Papua yang menjadi inspirasi karya kreatifnya. Dian merupakan mantan karyawan sebuah perusahaan tambang terkenal di Papua. Jabatan terakhirnya adalah sekretaris eksekutif.

Selama 17 tahun bekerja, Dian banyak berinteraksi dengan suku Kamoro dan suku Amungme, yakni suku yang mendiami lokasi perusahaan tambang tempatnya bekerja berdiri. Dian banyak menyerap berbagai hal, mulai dari adat istiadat, kehidupan sosial masyarakat, dan seni budaya masyarakat kedua suku tersebut. "Saya baca dari buku-buku yang ada di perpustakaan perusahaan, ngobrol dengan warga, para tetua adat dan banyak sumber lain," tambah dia.

Sejak 2004, Dian mulai menuangkan kreativitasnya dalam rupa kain batik. Biasanya di sela-sela jam kerja dia mulai mendesain beragam motif batik. "Itu kertas-kertas catatan rapat penuh dengan motif batik, agenda kerja bos saya juga penuh motif," ujar Dian tertawa.

Hingga saat ini, dia sudah mengembangkan tak kurang dari 10 motif batik Papua yang dia gali dari hasil interaksinya dengan masyarakat setempat. Setiap motif yang Dian buat kaya makna dan filosofi. Salah satu motif terbaru kreasi Dian adalah motif "tifa honai". "Ini inspirasinya dari alat musik dan rumah adat Papua," ungkap dia.

Motif tifa honai memiliki makna filosofis yang mendalam. Jika diterjemahkan, motif ini berarti rumah kebahagiaan, yakni rumah yang dipenuhi dengan kebahagian. "Inspirasi saya selama ini memang dari banyak hal yang saya lihat di Papua, sumber air, alam yang indah, dan lain-lain," kata Dian.

Tidak Mudah

Memperkenalkan batik Papua kepada masyarakat bukanlah perkara mudah. Banyak kalangan yang sempat meragukan. Maklum saja, Papua tidak mengenal teknologi kain batik seperti masyarakat di Pulau Jawa. "Batik Papua, emang ada?" begitu Dian menirukan reaksi masyarakat saat kali pertama memperkenalkan batik Papua dalam sebuah pameran di Jakarta.

Awal merintis batik Papua merupakan masa-masa sulit bagi Dian. Tidak hanya selera pasar yang belum mendukung berkembangnya industri batik, tetapi juga keterbatasan waktu yang dia miliki. Sebagai karyawaan kantoran, Dian memiliki jam kerja terbatas. Tapi, di sisi lain, sebagai pembatik dia harus terus belajar termasuk mengurus bengkel batik dan karyawannya. "Belajar sendiri semuanya, saya rajin ke museum tekstil, ikut asosiasi, ikut workshop, dan lain-lain," papar Dian.

Selain itu, dia juga harus bolak-balik Jakarta-Pekalongan. Pekalongan menjadi tempat produksi batik Papua karya Dian. Dia memilih Pekalongan karena kota batik ini dinilai lebih terbuka dengan ide-ide baru sehingga lebih luwes untuk menyesuaikan diri dengan selera pasar. "Pokoknya kalau sudah akhir pekan atau ada libur, pasti saya langsung ke Pekalongan," ujar Dian yang awal membuat batik Papua sebenarnya untuk kepentingan suvenir perusahan selain patung atau kerajinan kayu yang menjadi ciri khas Papua.

Sejak 2005, Dian mulai aktif memperkenalkan batik Papua ke masyarakat. Dia mulai dengan mengikuti beragam pameran-pameran. Saat itu, keberadaan batik Papua sama sekali belum dilirik. "Saya harus menjelaskan detai dulu baru mereka tertarik," kata Dian mengenang pameran pertamanya di sebuah hotel mewah di Jakarta.

Dian tidak patah arang. Dia terus berkreasi mengembangkan ragam motif untuk memperkaya hasil batik Papua kreasinya. Menggali lebih banyak lagi ide dan memperkuat sumber daya manusia untuk mengerjakan batiknya. Untuk menguatkan posisi batik Papua, perempuan yang senang desain ini lantas mendaftarkan batik Papua ke Yayasan Batik Indonesia. "Akhirnya batik saya diakui di Yayasan Batik Indonesia dan sejak itu terus mengikuti aneka pameran, mulai dari di dalam negri sampai di luar negri," ungkap Dian.

Kini, Dian semakin yakin mengembangkan profesinya ini. Menurut dia, batik Papua yang dia kembangkan adalah karya yang lahir dari hatinya. "Dan saya akan tetap menjaga semangat itu." Ujar dia mantap. *nanik ismawati


Identitas dalam Sehelai Kain

Batik Papua untuk saat ini dapat menjadi identitas baru bagi Papua.

Dibesarkan dalam lingkungan perajin batik di Solo, Jawa Tengah, sedari kecil Dian sudah tak asing lagi dengan kain batik. Baginya, batik bukanlah sekadar sebuah produk kain, namun merupakan karya seni yang bersumber dari hati. Dalam sehelai batik terdapat sejuta makna filosofi kehidupan. Di mata Dian, batik adalah sebuah identitas yang harus dijaga kelestarianya.

"Batik itu identitas. Di mana-mana orang mengenal batik ya itu Indonesia. Batik Papua untuk saat ini dapat menjadi identitas baru bagi Papua," kata Dian tegas.

Sejak kecil, dia mengaku memang sudah menggemari batik. Dian kecil terbiasa mengantar batik pesanan yang dibuat oleh neneknya. "Jadi bagaimana bau harum kain batik itu saya sudah hafal dari kecil," ujar Dian mengenang.

Menurut mantan karyawati sebuah pertambangan ini, sebagai warisan leluhur, batik telah menjadi bagian dari indentitas masyarakat Indonesia secara keseluruhan di mata dunia. Jika dahulu batik menjadi identitas kalangan tertentu, kini batik menjadi identitas masyarakat Indonesia untuk menegaskan keberadaan dirinya, terlebih pasca pengakuan dari UNESCO. "Jadi kita bisa bilang, Batik ya Indonesia. Bukan Malaysia atau siapa pun. Kalau mereka mau buat, ya silakan saja. Tapi batik bukan sekadar produk loh," kata Dian tertawa.

Secara filosofis, menurut Dian, batik mengandung muatan bentuk sebuah pembelajaran dalam tata laku kehidupan seseorang, yakni bagaimana manusia harus bersikap dan berperilaku. "Misalnya isen itu kan artinya sebagai manusia kita harus berbagi. Intinya kalau kita belajar batik dengan sungguh-sungguh itu ada banyak tatanan hidup. Noto ati (menata hati) kalau orang Jawa bilang," ujar Dian tersenyum.

Membukukan Batik

Di mata Dian, batik sebagai warisan leluhur yang sudah diakui keberadaanya oleh dunia seharusnya tidak hanya diperlakukan sebagai sebuah produk konsumsi, tetapi juga mulai dipikirkan upaya untuk melestarikan nilai-nilainya sehingga dapat terus diwariskan secara turun-menurun kepada generasi berikutnya. "Jadi para perajin batik itu tidak hanya buat, kemudian lama-lama hilang," katanya.

Sayangnya, lanjut Dian, keberadaan buku-buku yang mempu memberikan referensi tentang batik secara utuh masih sangat jarang di Indonesia. Para perajin batik sibuk dengan bagaimana memproduksi batik yang tengah menjadi pasar dalam dunia fashion di Indonesia maupun di luar. "Mereka lupa memikirkan bagaimana kelanjutan generasi berikutnya dalam memaknai batik," ujar Dian.

Oleh sebab itu, ke depan, Dian berencana menuangkan kreativitasnya dalam membatik menjadi sebuah buku. Keberadaan buku ini nantinya diharapkan mampu menjadi acuan di masa depan. "Jadi 10 atau 20 tahun ke depan ketika ada orang mau membuat batik Papua ada literaturnya," kata Dian. *Nanik ismawati

Nama : Fransisca Dian Wismandari
Tempat tanggal lahir: Surabaya, 2 April 1965
Pendidikan : Akademi Sekertaris LPKT Tarakanita
Pekerjaan : Perajin Batik (mengembangkan batik Papua)
Suami : Fianda Denny Soeparto
Anak : Adwina Saraswati (15), Andrina Medianti (14), Rinaldy A Narendra (12)

(sumber : http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/105859)


Anda Butuh Batik Madura Yang Bagus? Kunjungi Batik Madura Online
Alamat Kantor Kami :
Toko Online Bumi Barokah
Jl. Sumber kembar Dsn. Bungbaruh Ds. Kertagena Daya Kec. Kadur Kab. Pamekasan Madura Jawa Timur 69355
HP: 085257293079 / 0817317151



Tidak ada komentar:

Posting Komentar